Home » , » Wamenkes: Indonesia Terlalu Bebas untuk Rokok

Wamenkes: Indonesia Terlalu Bebas untuk Rokok

Written By Qassam Corporation on Minggu, 10 Juni 2012 | 17.30



Pelaksana tugas (plt) Menteri Kesehatan (Menkes) Ali Gufron mengaku sulit mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok sebagai bahan mengandung zat adiktif yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dia menilai Nusantara ini adalah negeri yang terlalu bebas untuk rokok.

"Terlalu banyak pemangku kepentingannya seperti perusahaan rokok dan petani tembakau. Intinya, wilayah Indonesia terlalu bebas untuk rokok. Mau mengatur gambar peringatan bahaya rokok di produknya saja nggak bisa," ujar Ali Gufron yang juga Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes).

Hal itu disampaikan Ali saat rapat kerja (raker) Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Kemenkes di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6) dalam rilis DPD hari ini.

Padahal, penetapan persyaratan produksi, peredaran, dan penggunaan rokok bertujuan untuk menekan dan mencegah gangguan atau kerugian kesehatan bagi diri dan/atau masyarakat sekeliling. Ia menyatakan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya mengatur produksi, peredaran, dan penggunaan rokok.

"UU mengaturnya meskipun tidak eksplisit. Tetapi kita operasionalkan," ucapnya.

Kemenkes mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Zat Adiktif. Zat adiktif yang dimaksud meliputi tembakau dan produk yang mengandung tembakau.

Kemenkes berusaha untuk menyusun draf RPP Zat Adiktif dan selanjutnya menyerahkan draf kepada Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra).

"Kita tinggal menunggu Menko Kesra menyerahkannya ke Istana (presiden). Kami menghitung risiko atau kerugian ekonomi dan sosialnya, pertimbangan filosofinya," sambungnya.

Beberapa senator atau anggota Komite III DPD seperti Abdi Sumaithi (asal Banten) dan Sulistiyo (asal Jawa Tengah) mempertanyakan pengaturan produksi, peredaran, dan penggunaan rokok di wilayah Indonesia.

"Teori kesehatan menyatakan merokok merusak kesehatan tetapi mengapa pemerintah seperti Menteri Perindustrian menyatakan ingin mempertahankan pabrik rokok?" tanya kedua senator itu.

Ali Gufron juga menjelaskan mengapa Indonesia tidak menandatangani dan meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi undang-undang. Sementara tiga negara terbesar penghasil tembakau, yaitu China, India, dan Brazil justru menandatangani dan meratifikasinya.

Ia mengaku, Indonesia kerap ditanyai negara-negara anggota World Health Organization (WHO) yang meratifikasinya. "Kita menjawab, 'di Indonesia masih ada perusahaan rokok dan petani tembakau'. Tapi mereka membalas, 'Samalah, di negara-negara lain juga sama, tapi mereka mau menandatanganinya kok Indonesia nggak'," jelas Ali.

Sebagai negara pengguna tembakau terbesar ketiga di dunia, Indonesia sebenarnya berperan aktif dalam penyusunan FCTC yang disahkan di Jenewa tahun 2004. Konvensi ditandatangani dan diratifikasi 174 negara.

Beberapa poinnya ialah pengurangan dan pembatasan iklan rokok, menambah cukai produk rokok, membubuhkan gambar peringatan bahaya rokok di produk rokok, menyediakan area khusus merokok, pembatasan akses anak terhadap rokok, dan penjualan rokok yang tertutup. Indonesia sesungguhnya melaksanakan beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok dan membuat area khusus merokok.
(Sumber: detik.com)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | PKS PIYUNGAN
Copyright © 2011. PKS-BANDAR LAMPUNG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger