Oleh Syarif Hidayat
Ketua DPD PKS Kota Bandar Lampung
Puasa disyariatkan dalam Islam pada tahun 625 M/3 H, setelah umat Islam dibawah pimpinan Rasulullah saw, hijrah ke Medinah dan melalukan peperangan melawan kafir Quraisy Mekah di medan perang Badar dan Uhud. Kedua perang yang terkenal dahsyat dan banjir darah itu, oleh Rasulullah saw, disebut sebagai peperangan dalam skala kecil. ”Raja’na minal jihadil asghari ilal jihadil akbar” –kita baru saja pulang dari perang kecil menuju perang yang lebih besar, sabda Rasulullah saw di hadapan sahabatnya.
Sahabat kaget mendengar ucapan Rasul, lalu bertanya: “Masih adakah perang yang lebih besar dari perang yang banjir darah, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab: “Naam, jihadi al akbar, jihad al nafs”, --sesungguhnya perang besar itu ialah perang melawan diri sendiri.
Pernyataan tegas rasulullah saw, yang dikutip dalam uraian tersebut di atas mengisyarakatkan bahwa lawan besar yang dihadapi setiap manusia ialah melawan diri sendiri. Siapa yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, dalam berbagai hal, itulah sesungguhnya sosok manusia yang meraih kemenangan. Seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri, ia juga memiliki kemampuan yang efektif untuk mengendalikan orang lain.
Secara substansial, proses ritual berpuasa seharusnya bermuara pada produk manusia yang bertakwa (QS 2: 183). Indikasi orang bertakwa, menurut Nurcholish Madjid, adalah memercayai kegaiban, mendirikan shalat, dan mengeluarkan atau memberikan sebagian hartanya (QS 2: 2-4). Ketiganya adalah ibadah yang memiliki kesatuan yang kuat, integrated, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara yang satu dengan yang lain. Inti pesan-pesan ajaran Islam memberikan perhatian yang serius terhadap masalah kemanusiaan atau sosial.
Sahabat kaget mendengar ucapan Rasul, lalu bertanya: “Masih adakah perang yang lebih besar dari perang yang banjir darah, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab: “Naam, jihadi al akbar, jihad al nafs”, --sesungguhnya perang besar itu ialah perang melawan diri sendiri.
Pernyataan tegas rasulullah saw, yang dikutip dalam uraian tersebut di atas mengisyarakatkan bahwa lawan besar yang dihadapi setiap manusia ialah melawan diri sendiri. Siapa yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, dalam berbagai hal, itulah sesungguhnya sosok manusia yang meraih kemenangan. Seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya sendiri, ia juga memiliki kemampuan yang efektif untuk mengendalikan orang lain.
Secara substansial, proses ritual berpuasa seharusnya bermuara pada produk manusia yang bertakwa (QS 2: 183). Indikasi orang bertakwa, menurut Nurcholish Madjid, adalah memercayai kegaiban, mendirikan shalat, dan mengeluarkan atau memberikan sebagian hartanya (QS 2: 2-4). Ketiganya adalah ibadah yang memiliki kesatuan yang kuat, integrated, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara yang satu dengan yang lain. Inti pesan-pesan ajaran Islam memberikan perhatian yang serius terhadap masalah kemanusiaan atau sosial.
Tetapi, lagi-lagi kita selalu terjerembab pada prosesi atau ritual puasa belaka, tanpa mampu menangkap pesan moral puasa yang kita jalani. Ketika kita melalukan korupsi berarti menolak keimanan terhadap yang gaib (baca: Tuhan). Korupsi dengan kehati-hatian yang ekstra sekali pun tetap Tuhan tanpa berkedip menelanjangi kita. Ketika kita melakukan korupsi berarti shalat kita hanyalah sebuah tarian yang hampa tanpa makna. Bukankah shalat seharusnya dapat mencegah kekejian dan kemungkaran? (QS 29: 45).
Kita sudah terbiasa memahami agama tidak secara terintegrasi, itulah sebabnya, Muhammad Saw sudah mengingatkan kita bahwa, banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Tidak adanya pemahaman yang komprehensif terhadap ajaran agama, kemungkinan sebagai sebab terjadinya tindakan korupsi. Ajaran agama tidak merefleksikan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral puasa (baca: dalam konteks korupsi) yang utama adalah kita dilarang memakan makanan yang haram. Jangan jadikan perut Anda sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagai kuburan rakyat kecil. Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Pesan moral ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, ketika kita menjadi konsumtif, atau bahkan untuk menaikkan status sosial, kita tidak jarang berani memakan hak orang lain. Kita sering menjadi omnivora tanpa memperhatikan halal dan haram (Jalaluddin Rakhmat, 2008).
Mengapa manusia terjerumus ke lembah kemaksiatan yang mengakibatkan dirinya terhina? Secara empiri menunjukkan, terjerumusnya manusia ke lembah kehinaan, disebabkan oleh ketidakmampuannya mengendalikan dan mengalahkan nafsunya sendiri sebagai musuh utama manusia dalam melakoni kehidupan mereka di bumi ini, yang disebut nafsu syahwat. Nafsu syahwat tersebut bertengger di dua tempat, yaitu perut dan bawah perut (faraj).
Perut adalah simbol tempat memenuhi segala kebutuhan materi. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan perut manusia bertahan untuk menyambung hidupnya; bahkan demi hidup, ada saja di antara anak manusia menjual dirinya menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) misalnya, lantaran kebutuhan perut. Seorang oknum pejabat misalnya, melakukan korupsi uang negara, karena desakan perut untuk segera menjadi kaya raya. Menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya untuk meraih keuntungan berupa fulus juga tidak terlepas dari ketidakmampuannya mengendalikan diri dari syahwat memperoleh keuntungan yang banyak.
Rasulullah saw, dalam salah satu hadis menyatakan bahwa: “… perut manusia ukurannya sangat kecil dan pendek, akan tetapi luasnya melebihi luasnya tujuh lautan yang ada di dunia ini. Dan seorang anak manusia, baru berhenti untuk berusaha memenuhi kebutuhan perutnya, setelah perutnya diisi dengan tanah. Bukankah upaya memenuhi kebutuhan perut sebagai pertanda masih ada kehidupan? Benar! Namun yang diajarkan oleh Islam, penuhilah kebutuhan itu, dengan mengikuti petunjuk Alquran dan al-sunnah. Materi sangat dibutuhkan dalam konteks ajaran Islam, tetapi jangan diperbudak oleh materi.
Perut adalah simbol tempat memenuhi segala kebutuhan materi. Karena dengan terpenuhinya kebutuhan perut manusia bertahan untuk menyambung hidupnya; bahkan demi hidup, ada saja di antara anak manusia menjual dirinya menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) misalnya, lantaran kebutuhan perut. Seorang oknum pejabat misalnya, melakukan korupsi uang negara, karena desakan perut untuk segera menjadi kaya raya. Menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya untuk meraih keuntungan berupa fulus juga tidak terlepas dari ketidakmampuannya mengendalikan diri dari syahwat memperoleh keuntungan yang banyak.
Rasulullah saw, dalam salah satu hadis menyatakan bahwa: “… perut manusia ukurannya sangat kecil dan pendek, akan tetapi luasnya melebihi luasnya tujuh lautan yang ada di dunia ini. Dan seorang anak manusia, baru berhenti untuk berusaha memenuhi kebutuhan perutnya, setelah perutnya diisi dengan tanah. Bukankah upaya memenuhi kebutuhan perut sebagai pertanda masih ada kehidupan? Benar! Namun yang diajarkan oleh Islam, penuhilah kebutuhan itu, dengan mengikuti petunjuk Alquran dan al-sunnah. Materi sangat dibutuhkan dalam konteks ajaran Islam, tetapi jangan diperbudak oleh materi.
Karena itu, jika umat Islam dan pemerintah bersungguh-sungguh untuk memberantas tindak kejahatan berupa korupsi, bulan Ramadan ini adalah momen yang sangat strategis untuk melawan dan mengalahkan tindak kejahatan yang disebut korupsi! Sebab, ibadah puasa yang disyariatkan kepada umat Islam, bertujuan untuk mengendalikan kedua sumber nafsu tersebut.
Dengan puasa, dapat menjadi momentum untuk menahan diri dari perbuatan dosa, perbuatan korupsi, dan perbuatan lain yang dilarang dalam islam. Tentunya dibulan puasa ini kita harus mampu menahan apa yang kita miliki, dari terbit fajar dan terbenamnya matahari.
Orang yang serius memaknai puasa dan melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi larangan Allah SWT, akan mendapatkan pengampunan dosa. Dengan catatan dosa yang telah diperbuat, tidak lagi diperbuat setelah bulan ramadhan berakhir. Ini harus kita perhatikan. Jangan sampai di bulan setelah ramadhan, kita kembali melakukan dosa. Ramadhan harus berbekas dalam setiap kehidupan kita.
Jangan sampai manusia dibelenggu hawa dan nafsu. Manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu. Nafsu yang tidak pernah puas dan hawa yang tidak kunjung ke lintasan, jangan sampai membelenggu kehidupan sehari-hari. Jadilah manusia yang puas, sehingga tidak mengambil hak orang lain untuk melakukan korupsi, Wallahu’alam.
Jangan sampai manusia dibelenggu hawa dan nafsu. Manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu. Nafsu yang tidak pernah puas dan hawa yang tidak kunjung ke lintasan, jangan sampai membelenggu kehidupan sehari-hari. Jadilah manusia yang puas, sehingga tidak mengambil hak orang lain untuk melakukan korupsi, Wallahu’alam.
0 komentar:
Posting Komentar