Oleh Agus Djumadi (Sekretaris Umum DPD PKS Kota Bandarlampung)
Gema Ramadan mulai terdengar saat Syaban kita masuki. Saat ini, tinggal hitungan pekan bulan penuh maghfirah itu menemani waktu ibadah kita. Jika Rajab diwarnai dengan semangat mempersiapkan diri dengan amalan menyambut Ramadan, Sya’ban adalah bulan keistiqomahan. Sejauh mana kita tetap konsisten menjalankan amalan tersebut di tengah-tengah suasana yang kurang kondusif.
ALLAH SWT tentunya punya maksud menganugerahkan Sya’ban ada di antara Rajab dan Ramadan. Selain janji Allah akan pahala berlipat di bulan itu, juga teramat paham dengan kecenderungan manusia untuk lalai di Sya’ban. Karenanya, agar terhindar dari sifat lalai tersebut, Rasulullah teramat menganjurkan umatnya untuk tetap menjaga amalan-amalan di Sya’ban, terkhusus amalan puasa.
’’Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai, yaitu di antara Rajab dan Ramadan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan’’. (HR. An-Nasa’i, Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan).
Dari Aisyah RA, beliau mengatakan, ’’Rasulullah SAW biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah SAW berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Syaban’’. (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).
Untuk mengoptimalkan saat-saat fenomenal bersama Sang Kekasih itulah, ia sudah bersolek mempersiapkan segala-galanya dengan harapan semua fadhilah yang ada di dalamnya bisa di tangguk secara menyeluruh. Oleh karena itu, Rasulullah mengajak kita, umatnya untuk melakukan warming up di dua bulan yang juga tidak kalah pentingnya, yakni bulan Rajab dan Sya'ban. Dalam hadis di atas, beliau memohon kepada Allah seraya mengajak umatnya untuk diberikan keberkahan yang optimal dengan melakukan pelatihan amal saleh dalam dua bulan itu.
Bentuknya pun bermacam-macam. Seperti membayar utang shaum bagi yang pernah uzur meninggalkan shaumnya pada Ramadan yang lalu, mempersiapkan tilawah Alqurannya bagi yang masih gagap dan kurang lancar. Sudah barang tentu setiap muslim yang merindukan taqorrub di Ramadan kelak, sedari sekarang sudah mempersiapkan tilawah hariannya. Tahsin, tafhim, dan tadabbur pun tidak luput dari perhatiannya. Ini sangat penting. Mana mungkin kita meneriakkan hadis di atas lantas diri kita kurang memberikan perhatian kepada Alquran yang merupakan amalan utama di bulan mulia itu!
Amalan saleh lain yang bisa kita persiapkan adalah shaum. Seperti shaum ayyamul bidh/hari-hari putih (3 hari setiap bulan pada 13, 14 dan 15 H), shaum Senin-Kamis, shaum nabi Daud (puasa selingan/satu hari puasa dan satu hari tidak), lalu berlatih infak, sedekah, serta zakat di Rajab dan Sya'ban.
Inilah harapan besar kita setelah meminta permohonan diberkahi di Rajab dan Sya’ban. Kita meminta dipertemukan dengan Ramadan untuk melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya, beribadah, dan tentunya lagi pahala yang ghairu mamnun (tanpa putus).
Jadi, sebelum ber-fastabiqul khoirot di bulan suci nanti, kita sudah ’’memulai’’ suasana Ramadan terlebih dahulu sebagai semua pelatihan untuk membiasakan diri, warming up, dan berbekal dengan beragam ibadah. Baik itu ibadah mahdoh, fisik, maliyyah, fikriyah, dan ijtima'iyyah. Begitu banyak yang harus didapatkan nanti. Sebagai muslim sejati yang tentu tidak akan menyia-siakannya, strategi melakukan amal saleh itu harus diketahui. Menurut fikih awlawiyyat; sebuah amalan itu akan terhitung lebih besar pahalanya daripada amalan yang lainnya apabila ia memenuhi tuntutan situasi dan kondisi. Misalnya, apabila kondisi Ramadan menuntut seseorang untuk berjihad, maka jihad adalah amalan utamanya, seperti di masa Rasulullah dahulu. Jika situasi dan kondisinya menuntut seseorang untuk membantu meringankan beban orang lain yang emergency, maka itulah amalan utamanya. Dan lain sebagainya. Namun, bukan berarti amalan yang sifatnya sosial itu justru mengendurkan perhatian kita kepada amalan yang sifatnya pribadi. Karena sangat mustahil diri kita bisa melakukan amalan sosial apabila kita tidak memiliki kekuatan ruhiyyah yang diperoleh dari dalam diri kita. Dan itu hanya dilakukan dengan cara men-charge ruhiyyah kita.
Insya Allah, dengan memahami tarhib Ramadan versi hadis di atas, kita bisa mengoptimalkan puasa dan melakukan amal saleh di bulan suci itu. Sehingga, amalan shaum di Ramadan menjadi mukaffirotun lizzunub (penghapus dosa-dosa) kita yang telah lalu.
Tidak usah lah kita seperti para sahabatnya yang memiliki ihtimam (perhatian) yang begitu besar untuk Ramadan dan ruhiyyah yang tinggi kepada Allah, dengan mempersiapkan diri 6 bulan sebelum Ramadan tiba dan menangis ketika Ramadan pergi. Tapi kita cukup mengamalkan hadis tarhib tersebut di atas untuk mempersiapkan diri.
Semoga kita bisa memanfaatkan Sya'ban ini sebagai proses pelatihan dan training kebaikan sampai menjelang bulan yang kita nanti-nantikan itu. Dengan perasaan bahwa Ramadan itu sudah dekat dengan kita sehingga menjadikan kita lebih dekat lagi kepada Allah.
Kalaupun takdir Allah ’’berkata lain’’ kepada diri kita, Insya Allah ajang pelatihan itu menjadi saksi bahwa kita benar-benar mencintai Ramadan dengan ibadah. Meski, akhirnya akan jadi pertemuan terakhir kita dengannya. ’’Sampaikanlah kami (Ya Allah) ke bulan Ramadhan’’. Amin. Wallahu a'lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar